Phytagoras percaya bahwa angka bukan unsur seperti udara dan air yang banyak dipercaya sebagai unsur semua benda. Angka bukan anasir alam. Pada dasarnya kaum Phytagorean menganggap bahwa pandangan Anaximandros tentang to Apeiron dekat juga dengan pandangan Phytagoras. To Apeiron melepaskan unsur-unsur berlawanan agar terjadi keseimbangan atau keadilan (dikhe). Pandangan Phytagoras mengungkapkan bahwa harmoni terjadi berkat angka. Bila segala hal adalah angka, maka hal ini tidak saja berarti bahwa segalanya bisa dihitung, dinilai dan diukur dengan angka dalam hubungan yang proporsional dan teratur, melainkan berkat angka-angka itu segala sesuatu menjadi harmonis, seimbang. Dengan kata lain tata tertib terjadi melalui angka-angka.
Salah satu peninggalan Phytagoras yang terkenal adalah teorema Pythagoras, yang menyatakan bahwa kuadrat hipotenusa dari suatu segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah kuadrat dari kaki-kakinya (sisi-sisi siku-sikunya). Walaupun fakta di dalam teorema ini telah banyak diketahui sebelum lahirnya Pythagoras, namun teorema ini dikreditkan kepada Pythagoras karena ia lah yang pertama membuktikan pengamatan ini secara matematis.
Pythagoras dan murid-muridnya percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berhubungan dengan matematika, dan merasa bahwa segalanya dapat diprediksikan dan diukur dalam siklus beritme. Ia percaya keindahan matematika disebabkan segala fenomena alam dapat dinyatakan dalam bilangan-bilangan atau perbandingan bilangan. Ketika muridnya Hippasus menemukan bahwa \sqrt{2}, hipotenusa dari segitiga siku-siku sama kaki dengan sisi siku-siku masing-masing 1, adalah bilangan irasional, Pythagoras memutuskan untuk membunuhnya karena tidak dapat membantah bukti yang diajukan Hippasus
Hal lain yang dinisbatkan kepada Phytagoras adalah perbandingan emas (golden ratio). Pada masa lalu, matematika memang tidak melulu hanya berkaitan dengan angka atau merupakan ilmu “kaku”. Matematika digunakan untuk menjabarkan filsafat dan mengejar keindahan. Termasuk golden ratio ini.
Berdasarkan penemuan Phytagoras, ternyata segala sesuatu di alam semesta ini, selalu mengarah pada perbandingan yang sama. Cangkang siput, galur-galur pada nanas, dan ukuran tubuh bagian atas manusia dibandingkan bagian bawahnya hampir pasti mendekati perbandingan. Phytagoras juga membuktikan, semua benda yang memiliki golden ratio senantiasa memiliki tingkat estetika yang sangat tinggi. Kalau alam semesta berlimpahan dengan benda-benda dengan “ukuran perbandingan emas”, maka manusia mesti membuat yang serupa demi menjaga keindahan tersebut.
Bahkan, Phytagoras berprinsip bahwa “Segala sesuatu adalah angka; dan perbandingan emas adalah raja semua angka. dari sekian hal yang menarik tentang masa lalu dan Phytagoras bukan hanya pemahaman bahwa matematika adalah ilmu “basah”. Melainkan juga kisah-kisah “konyol” yang melingkupi hidup sang ahli angka ini; yang tentu saja sesuai dengan zamannya. Percaya Reinkarnasi Lebih dari seribu tahun lalu, orang masih percaya pada kehidupan kembali pasca kematian. Entah itu akhirat, entah berupa reinkarnasi. Tak terkecuali Phytagoras. Ia percaya bahwa dirinya adalah reinkarnasi Euphorbus, seorang pahlawan Troya. Sebagai penganut reinkarnasi, ia percaya pula semua jiwa manusia dan binatang akan berpindah ke jasad lain. Oleh karena tak mau berpindah menjadi kambing atau sapi misalnya, Phytagoras pun mengatur makannnya dengan ketat. Ia hanya mau memakan buah dan sayur alias vegetarian. Namun, tidak semua tumbuhan dimakannya. Phytagoras anti memakan buncis karena alasan pribadi. Pertama, karena baginya buncis bisa membuat perut kembung, sesuai bentuknya. Alasan lain, buncis berbentuk mirip alat kelamin lelaki.
Salah satu peninggalan Phytagoras yang terkenal adalah teorema Pythagoras, yang menyatakan bahwa kuadrat hipotenusa dari suatu segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah kuadrat dari kaki-kakinya (sisi-sisi siku-sikunya). Walaupun fakta di dalam teorema ini telah banyak diketahui sebelum lahirnya Pythagoras, namun teorema ini dikreditkan kepada Pythagoras karena ia lah yang pertama membuktikan pengamatan ini secara matematis.
Pythagoras dan murid-muridnya percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berhubungan dengan matematika, dan merasa bahwa segalanya dapat diprediksikan dan diukur dalam siklus beritme. Ia percaya keindahan matematika disebabkan segala fenomena alam dapat dinyatakan dalam bilangan-bilangan atau perbandingan bilangan. Ketika muridnya Hippasus menemukan bahwa \sqrt{2}, hipotenusa dari segitiga siku-siku sama kaki dengan sisi siku-siku masing-masing 1, adalah bilangan irasional, Pythagoras memutuskan untuk membunuhnya karena tidak dapat membantah bukti yang diajukan Hippasus
Hal lain yang dinisbatkan kepada Phytagoras adalah perbandingan emas (golden ratio). Pada masa lalu, matematika memang tidak melulu hanya berkaitan dengan angka atau merupakan ilmu “kaku”. Matematika digunakan untuk menjabarkan filsafat dan mengejar keindahan. Termasuk golden ratio ini.
Berdasarkan penemuan Phytagoras, ternyata segala sesuatu di alam semesta ini, selalu mengarah pada perbandingan yang sama. Cangkang siput, galur-galur pada nanas, dan ukuran tubuh bagian atas manusia dibandingkan bagian bawahnya hampir pasti mendekati perbandingan. Phytagoras juga membuktikan, semua benda yang memiliki golden ratio senantiasa memiliki tingkat estetika yang sangat tinggi. Kalau alam semesta berlimpahan dengan benda-benda dengan “ukuran perbandingan emas”, maka manusia mesti membuat yang serupa demi menjaga keindahan tersebut.
Bahkan, Phytagoras berprinsip bahwa “Segala sesuatu adalah angka; dan perbandingan emas adalah raja semua angka. dari sekian hal yang menarik tentang masa lalu dan Phytagoras bukan hanya pemahaman bahwa matematika adalah ilmu “basah”. Melainkan juga kisah-kisah “konyol” yang melingkupi hidup sang ahli angka ini; yang tentu saja sesuai dengan zamannya. Percaya Reinkarnasi Lebih dari seribu tahun lalu, orang masih percaya pada kehidupan kembali pasca kematian. Entah itu akhirat, entah berupa reinkarnasi. Tak terkecuali Phytagoras. Ia percaya bahwa dirinya adalah reinkarnasi Euphorbus, seorang pahlawan Troya. Sebagai penganut reinkarnasi, ia percaya pula semua jiwa manusia dan binatang akan berpindah ke jasad lain. Oleh karena tak mau berpindah menjadi kambing atau sapi misalnya, Phytagoras pun mengatur makannnya dengan ketat. Ia hanya mau memakan buah dan sayur alias vegetarian. Namun, tidak semua tumbuhan dimakannya. Phytagoras anti memakan buncis karena alasan pribadi. Pertama, karena baginya buncis bisa membuat perut kembung, sesuai bentuknya. Alasan lain, buncis berbentuk mirip alat kelamin lelaki.
Mati Karena Buncis
Pantangnya Phytagoras pada buncis ini berakibat fatal pada kematiannya kelak. Dikisahkan, suatu hari rumah Phytagoras dibakar para musuhnya, yang tak lain adalah orang-orang yang membencinya karena ditolak menjadi anggota sekte Phytagorean.
Anggota sekte berlarian dan dibantai satu persatu. Terakhir, tinggal seorang Phytagoras sendiri. Ia berlari hingga tiba di depan ladang buncis. Ketika berada di sana, tamatlah riwayatnya. Phytagoras berbalik arah dan berkata pada para pengejarnya, lebih baik mati daripada mesti melewati ladang buncis. Maka, berakhirlah nasib sang penemu golden ratio ini dengan cara dipotong lehernya.
Cerita tragis inilah yang tidak pernah disampaikan ketika guru matematika menjelaskan ini dan itu, tentang angka-angka rumit, penghitungan tingkat tinggi, dan seterusnya. Padahal, menceritakan sejarah matematika pasti menyenangkan dan membuat murid berpikir, matematika tak sekaku yang dibayangkan. Setidaknya, ahli matematika atau fisika dan padanannya, tidak akan dicitrakan sebagai pria berkacamata dan berkepala botak yang tidak bisa menyukai lawan jenis karena sibuk dengan angka perhitungan.
Pantangnya Phytagoras pada buncis ini berakibat fatal pada kematiannya kelak. Dikisahkan, suatu hari rumah Phytagoras dibakar para musuhnya, yang tak lain adalah orang-orang yang membencinya karena ditolak menjadi anggota sekte Phytagorean.
Anggota sekte berlarian dan dibantai satu persatu. Terakhir, tinggal seorang Phytagoras sendiri. Ia berlari hingga tiba di depan ladang buncis. Ketika berada di sana, tamatlah riwayatnya. Phytagoras berbalik arah dan berkata pada para pengejarnya, lebih baik mati daripada mesti melewati ladang buncis. Maka, berakhirlah nasib sang penemu golden ratio ini dengan cara dipotong lehernya.
Cerita tragis inilah yang tidak pernah disampaikan ketika guru matematika menjelaskan ini dan itu, tentang angka-angka rumit, penghitungan tingkat tinggi, dan seterusnya. Padahal, menceritakan sejarah matematika pasti menyenangkan dan membuat murid berpikir, matematika tak sekaku yang dibayangkan. Setidaknya, ahli matematika atau fisika dan padanannya, tidak akan dicitrakan sebagai pria berkacamata dan berkepala botak yang tidak bisa menyukai lawan jenis karena sibuk dengan angka perhitungan.
0 komentar:
Posting Komentar
Semoga Artikel diatas dapat membantu menemukan apa yang sedang Anda cari. Silahkan tinggalkan komentar.